Puluhan warga dari berbagai Desa di Kabupaten Mojokerto mengelar aksi di depan Kantor Pemkab Mojokerto. Senin (18/11/19) siang. Mereka menuntut hasil Pilkades serentak 23 Oktober 2019 yang lalu di 7 desa dihitung ulang.
Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, puluhan warga yang unjuk rasa datang dengan membawa berbagai poster tuntutan. Mereka yang sebagian para emak-emak serta para bapak ini didominasi oleh melakukan orasi secara bergiliran.
Dengan penjagaan ketat polisi dan Satpol PP, akhirnya 10 orang perwakilan diminta masuk di ruang Satya Bina Karya (SBK) Pemkab Mojokerto untuk menggelar audiensi.
Mereka diterima oleh tim Pemkab Mojokerto, diantaranya Kabag Hukum, Kepala DPMD, Sekretaris Kesbangpol, Plt Kepala Satpol PP dan Kapolresta Mojokerto dan Polres Mojokerto.
Dalam aksinya, massa menyampaikan keberatan terhadap hasil Pilkades di 7 desa. Yaitu Desa Kebontunggul dan Centong di Kecamatan Gondang, Desa Gayaman di Kecamatan Mojoanyar, Desa Karangkedawang di Kecamatan Sooko, Desa Banyulegi di Kecamatan Dawarblandong, Desa Sumbersono di Kecamatan Dlanggu, serta Desa Pagerluyung di Kecamatan Gedeg.
Bahkan, ungkapan keberatan terhadap hasil Pilkades di 7 desa itu juga sudah disampaikan para calon Kades secara tertulis ke Pemkab Mojokerto beberapa waktu lalu dan sudah diserahkan ke Wakil Bupati Mojokerto Pungkasdi.
Mat Atim, Kuasa Hukum para Calon Kades yang gagal terpilih mengatakan, dalam aksi kali ini, tuntutan utama yakni penghitungan ulang Pilkades di 7 Desa yang dinilai terjadi kesalahpahaman.
Landasan utama tuntutan ini, karena kurang jelasnya aturan main penghitungan suara yang dibuat panitia pilkades. Khususnya dalam menentukan aturan suara dalam kasus coblosan simetris.
“Di wilayah lain, coblosan simetris sah secara hukum selama lubang kedua tidak di kotak gambar calon lain. Kabupaten lain membuat buku panduan untuk setiap panitia. Di Kabupaten Mojokerto karena tidak ada sosialisasi, penyamaan persepsi sehingga setiap panitia menafsirkan sendiri keabsahan coblosan simetris,” terang Mat Atim.
Tak adanya tata tertib yang mengatur keabsahan coblosan simetris inilah yang membuat panitia Pilkades di setiap desa membuat penafsiran berbeda. Ada yang menyatakan coblosan simetris sebagai suara sah, banyak juga yang menyatakan tidak sah.
Menaggapi hal ini, Plt Kepala DPMD Kabupaten Mojokerto Ardi Sepdianto menjelaskan, hasil audensi semua aspirasi warga terkait Pilkades serentak sudah ditampung.
“Kita buatkan berita acara, nanti akan kita sampaikan kepada Wakil Bupati. Kita menyetujui, namun yang menentukan kebijakan tetap wakil Bupati,” terangnya.
Selin itu, pihaknya juga membuat tata tertib terkait keabsahan suara di Pilkades serentak 2019. Menurut Ardi, tatib tersebut berpedoman pada Pasal 40 Permendagri nomor 112 tahun 2014 tentang Pilkades.
Aturan main ini telah disosialisasikan secara masif ke Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa dan panitia Pilkades serentak di tingkat desa.
“Menurut tafsir Permendagri 112, surat suara dianggap sah lebih dari satu coblosan kalau masih di dalam kotak (gambar cakades). Kalau coblosan satunya di luar kotak, tidak sah. Tatib turunan dari Permendagri ini,” terangnya.
Kendati begitu, tambah Ardi, pihaknya akan mengkaji keberatan yang disampaikan 7 desa terkait coblosan simetris. “Tak sampai Desember keberatan itu kami jawab secara tertulis. Kami harap semua pihak taat aturan,” tandasnya.
Coblosan simetris sendiri berarti adanya 2 lubang pada surat suara. Lubang pertama pada kotak gambar salah satu cakades, sedangkan lubang ke dua di luar kotak gambar cakades manapun. Dua lubang ini terjadi karena pemilih tidak membuka secara sempurna lipatan surat suara. Sehingga coblosannya tembus.(sma/udi)
Baca juga :