Sebanyak 3 warga di Mojokerto berjalan kaki ke Jakarta untuk menemui Jokowi, Presiden.
Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, tiga warga itu diantaranya Ahmad Yani (45), Sugiantoro (31) dan Heru Prasetyo (26) warga Desa Lebakjabung, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto.
“Kita Mencari Keadilan”, begitulah ucapan yang terus menggaung di hati tiga warga tersebut.
Mereka sejak Selasa kemarin (28/01/2020) memulai perjalanan dari Desa mereka yakni Lebakjabung, Kecamatan Jatirejo Mojokerto.
Tiga pria itu hanya berbekal uang receh sebesar Rp 600 ribu yang dikumpulkan dari donasi warga.
Selama di perjalanan, mereka membawa bendera Merah Putih dengan gagang paralon dengan di sampirkan ke pundaknya dan tiga tas yang berisikan berkas dan bekal selama perjalanan.
“Kami hanya meminta keadilan agar penambangan liar di hulu sungai dari titik mata air yang ada di Mojokerto Selatan, khususnya Desa Lebakjabung di Desa kita di Stop,” ujarnya, Selasa (29/01)
Mereka mentarget bisa sampai ke Jakarta pada Februari mendatang.
“Target kami harus bisa sampai Jakarta tanggal 4 Februari nanti, kami juga sudah bawa dokumentasi yang pernah kami kirim ke Gubernur. Bahkan dokumen dari pemerintah desa yang dikirim ke Gubernur sampai pemerintah jajaran tingkat muspika, yang sampai saat ini masih tahapan negosiasi terus menerus,” katanya.
Hal ini dilakukan karena khawatir imbas yang terjadi kedepan, khususnya terhadap lingkungan dan sumber mata air akibat adanya penambangan di aliran Sungai Seloliman.
“Kami sebagai masyarakat sangat tidak menginginkan adanya tambang tersebut. Imbasnya yang kami khawatirkan adalah bencana banjir bandang dan longsor, karena yang ditambang ini adalah hulu sungai dari titik mata air yang ada di Mojokerto selatan, khususnya Desa Lebakjabung,” tandasnya.
Selain itu, alasan lain yang mereka keluhkan yakni diduga adanya aturan dari pemerintah daerah sendiri yang dianggap tumpang tindih dan tidak jelas regulasinya.
“Aspirasi sudah kami sampaikan ke kantor Gubernur tanggal 20 Januari kemarin, cuman responnya sampai saat ini berbelit-belit, yang katanya ada ijinnya. Sedangkan ijin tersebut dalam pandangan kami juga cacat hukum belum ada Perjanjian Kerja Sama (PKS) dari perhutani maupun surat dari lingkungan hidup. Antara peninjaun, dengan permohonan juga selisih daripada permohonan ke gubernur beberapa waktu lalu,” paparnya.
Menurut Yani, sampai saat ini terdapat dua titik galian yang dijarah, baik secara manual maupun penggunaan alat berat. Kekhawatiran semakin mereka rasakan, karena kawasan penggalian sudah memasuki kawasan hutan lindung setempat dan menimbulkan konflik sosial.
“Sekarang sudah masuk kawasan hutan lindung, sehingga kami sudah mempersiapkan dan memperjuangkan mata air yang ada disana, karena itu kebutuhan kami, kebutuhan kita semua air adalah kehidupan. Kami sebagai warga mengharapkan ketentraman, dengan adanya tambang kita diadu domba dengan warga, sehingga sekat dan pertengkaran antar warga yang pro dan kontra dengan galian c setiap hari terjadi,” ujar Yani, yang juga Ketua dari pecinta lingkungan hidup Gakkopen.
Dirinya dan warga yang kontra akan penambangan di Kawasan Hutan Lindung ini sudah tak ingin bernegosiasi lagi. Dirinya menginginkan penutupan tambang di hulu sungai Mojokerto.
“Kami sebagai teman-teman peduli lingkungan tadinya sudah membuat program 2020-2030, yakni menginginkan desa kami jadi desa wisata. Sebab disitu ada potensi-potensi wisata. Bahkan kami juga sudah sempat membuka wisata river tubing, yang warga sendiri mengelolanya, tapi sekarang sudah hancur di rusak galian,” imbuhnya.
Pihaknya ingin menjaga kearifan lokal dan menjadikannya perekonomian kerakyatan. Yang saat ini sudah dimonopoli pengusaha-pengusaha penambangan galian C. Bahkan, taman herbal yang rencananya akan menjadi salah satu program di lokasi tersebut tak bisa direalisasikan.
“Intinya kami ke Jakarta ingin segera dilakukan penutupan tambang, dan mohon adanya konseptor desa wisata sebagai pengganti pekerjaan saudara-saudara kami,” tegasnya. (sma/adm)
Baca juga :