Pemerintah daerah telah diwanti-wanti oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, agar tidak main-main menggunakan dana bencana Covid-19. Sebab, penggunaan dana bencana rawan dimanipulasi.
Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, anggaran bencana di Kabupaten Mojokerto awalnya dialokasikan Rp 65 miliar, tapi anggaran itu berpeluang bertambah setelah pemerintah membatalkan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Anggaran Pilkada secara total mencapai Rp 75 miliar.
Besaran dana itu belum termasuk realokasi proyek yang bersumber dari Dana Perimbangan, yang seharusnya untuk proyek fisik di Kabupaten Mojokerto.
Mochammad Indra Subrata, SH, mengatakan, pihaknya saat ini tengah menginventarisir besaran dana yang digunakan untuk penanggulangan Covid-19. “Berapa nilainnya anggara yang dari daerah dan pusat, kami masih mencarinya,” tegasnya.
Dia juga mengatakan, peluang dimainkannya dana bencana dan menguntungkan segelintir orang, karena pembelanjaan bantuan bersifat sekali pakai. “Tentunya barang yang dibelanjakan akan selesai,” tandasnya.
Untuk itu, dirinya berharap pemda membelanjakan dana bantuan dengan sangat hati-hati dan prosedural. Agar nantinya tepat sasaran dan sesuai regulasi. Pihaknya juga akan mengklarifikasi besaran bantuan bencana ke pemda.
“Nanti akan kami klarifikasi. jenis barang yang disalurkan dan apa saja yang telah dibelanjakan,” tegasnya.
Seperti diinformasikan, pemerintah menyatakan virus korona sebagai bencana non alam dan bencana skala nasional. Anggaran trilinan rupiah digelontorkan untuk penanganan Covid-19. Dan siapa saja yang mengkorupsi anggaran bencana, diancam dengan hukuman berat yakni hukuman mati.
Hal ini mendasar ketentuan Pasal 2 Ayat 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Disebutkan bahwa dalam hal tindak pidana korupsi (Tipikor) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
UU ini menjelaskan bahwa keadaan tertentu dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku Tipikor apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai UU yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter. (sma/adm)
Baca juga :