Terdampak Pandemi COVID-19 hingga PPKM, Pekerja Seni di Mojokerto Menjerit

Pandemi COVID-19 ditambah PPKM menjadi pukulan keras bagi para pekerja seni di Kabupaten Mojokerto. Mereka mengharapkan bantuan pemerintah karena anjloknya penghasilan selama 16 bulan terakhir.

Informasi yang dihimpun oleh suara jawatimur.com, Dampak pandemi Corona dan PPKM Darurat salah satunya menerpa para pemahat patung di Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto. Desa ini menjadi sentra kerajinan patung berbahan batu andesit.

“Sejak tahun lalu kami sudah terdampak. Teman-teman mengeluh karena pengiriman ke Bali tidak bisa lancar karena protokol kesehatan, wisatawan juga sepi,” kata Bayu Bimantara (32), pemahat patung di Dusun Jatisumber, Jumat (30/7/2021).

Sebelum pandemi COVID-19 menerjang pada Maret tahun lalu, rata-rata penghasilan Bayu dari memahat patung Rp 5 juta per bulan. Karena saat itu permintaan patung berbahan batu andesit dari Bali, kota-kota besar di Jawa dan luar Jawa, serta dari beberapa negara Eropa masih tinggi.

Pria yang sudah 17 tahun memahat patung ini menuturkan, para perajin bisa 2-3 kali melakukan pengiriman patung setiap bulan sebelum pandemi terjadi. Sekali pengiriman mencapai 50-100 patung.

“Saat ini bisa mengerjakan satu patung dalam sebulan sudah sangat istimewa, dapat ongkos pahat Rp 2 juta sampai Rp 2,5 juta. Dalam setahun kami baru kirim 3 kali, ke Bali dan Surabaya. Sekali kirim hanya 5 patung,” terangnya.

Pukulan keras dari pandemi COVID-19 dan PPKM Darurat juga dirasakan Ribut Sumiyono (58), pengusaha kerajinan patung batu di Jatisumber. Menurut dia, pesanan patung anjlok sejak virus Corona merebak di tanah air.

“Dampaknya sangat terasa karena untuk menembus Bali saja susah, apalagi ekspor. Semua teman-teman komunitas pematung kondisinya sama, pesanan dari lokal saja, seperti Surabaya 1-2 patung saja. Ekspor tak ada sama sekali. Ini beberapa bulan tak ada pesanan sama sekali,” ungkap bapak dua anak ini.

Kondisi tersebut berbeda 180 derajat dengan sebelum pandemi COVID-19 melanda. Karena Ribut mampu mengirim lebih dari 20 patung setiap bulan. Omzetnya pun fantastis karena menembus Rp 100 juta per bulan.

“Biasanya pengiriman gabung dengan teman-teman perajin lain. Kirimnya ke Bali, kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Malang dan lain-lain. 60 persen untuk ekspor ke Eropa. Pembeli Eropa lebih suka patung ciri khas Majapahit, misalnya sosok Ganesa, Budha, Airlangga, Siwa, Wisnu,” terangnya.

Jumlah pesanan dan omzet yang terjun bebas memaksa Ribut mengurangi pekerja. Jika sebelum pandemi Corona ia mempunyai puluhan karyawan, kini hanya 7 pemahat saja.
“Terpaksa pakai uang tabungan untuk bertahan hidup dan menggaji pekerja,” ujarnya.

Para pelukis di Kabupaten Mojokerto juga terpukul pandemi COVID-19 dan PPKM Darurat. Seperti yang dirasakan Andi (43), pelukis asal Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Tak adanya pameran membuatnya kesulitan menjual lukisan. Sehingga karyanya selama ini hanya ia simpan saja.

Amarah Pekerja Seni Jatim-Jateng
“Selama pandemi saya bertahan dengan tabungan, tapi mulai menipis. Penghasilan selama pandemi tak sampai sejuta, itu pun dari hasil mengamen pakai gitar,” jelasnya.

Padahal, sebelum pandemi penghasilan Andi dari melukis mencapai Rp 5 juta per bulan. Kini ia berharap pemerintah segera mengucurkan bantuan untuk para pekerja seni seperti dirinya.

“Harapan kami ke pemerintah BLT diaktifkan kembali. Tahun lalu saya sempat dapat BLT. Pelaku seni juga supaya dibantu promosi,” pungkasnya.(tim/sam)

Redaksi : Suara Jawa Timur
Sumber : Detik.com (Naskah Berita Asli)

 

Baca juga :