Cita-cita Indonesia 2045 Terhalang Masalah Kesehatan Mental Remaja

Kondisi kesehatan mental masyarakat yang semakin memprihatinkan akan berpengaruh pada produktivitas nasional. Hal ini dapat menghambat Indonesia dalam transisi menjadi negara maju pada tahun 2045. Layanan kesehatan mental menjadi krusial dan membutuhkan perhatian yang sama dengan kesehatan fisik.

Laporan Program Pembangunan PBB (UNDP) 2021-2022 menyebutkan, pencapaian pembangunan manusia secara global mengalami kemunduran. Kondisi ini dipengaruhi faktor akumulasi ketidakpastian sehingga menimbulkan gejolak pada kehidupan manusia dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Menurut Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, 15,5 juta (34,9 persen) remaja mengalami masalah mental dan 2,45 juta (5,5 persen) remaja mengalami gangguan mental. Dari jumlah itu, baru 2,6 persen yang mengakses layanan konseling, baik emosi maupun perilaku.

Koordinator Tim Ahli Sekretariat Nasional SDGs Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Yanuar Nugroho mengatakan, kondisi kesehatan mental kaum muda sekarang tergolong memprihatinkan. Padahal, mereka adalah kunci Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap) dan pemanfaatan bonus demografi.

”Kalau kaum muda mengalami masalah atau gangguan mental akan berpengaruh pada produktivitas nasional. Kondisi memprihatinkan ini dapat berubah menjadi mengkhawatirkan apabila tidak ada tindakan dari pemerintah,” ujarnya dalam dialog kebijakan bertema ”Renewed Challenges, Exploring Solutions”, di Jakarta, Rabu (1/2/2023).

Pemerintah sudah memikirkan terkait kesehatan mental, tetapi belum menjadi prioritas. Akses layanan kesehatan mental tergolong mahal dan belum inklusif. Sementara itu, perhatian pada kesehatan mental dan fisik belum setara dalam jaminan kesehatan nasional.

Untuk menjadi negara maju tahun 2045, kata Yanuar, kondisi mental angkatan kerja harus baik dan mumpuni. Hal ini akan sulit dipenuhi ketika masalah kesehatan mental masih belum diperhatikan.

Co founder Magdalene.co Devi Asmarani mengatakan, masalah kesehatan mental akan selalu ada di kalangan generasi penerus. Masalah kesehatan mental di Indonesia ibarat puncak gunung es ,yaitu masih banyak yang belum terungkap. Pemahaman masyarakat akan kesehatan harus ditingkatkan karena hal ini tidak dapat disepelekan.

”Tantangan yang dihadapi generasi mendatang cukup banyak, mulai dari krisis iklim, ekonomi, dan politik. Masalahnya sudah ada, tetapi solusinya belum tersedia. Oleh karena itu, kesehatan mental juga harus diprioritaskan, ucap Devi.

Bagi kalangan pekerja, hustleculture atau budaya gila kerja yang kini berkembang sangat berdampak pada kesehatan mental. Budaya seperti ini harus dipahami oleh perusahaan agar dapat lebih memanusiakan karyawannya karena produktivitas yang maksimal bergantung pada kondisi kesehatan pekerjanya, termasuk kesehatan mental.

Katarsis

Pendiri Jogja Disability Arts, Butong Idar, mengataan, seni dapat menjadi pelarian para pekerja atau masyarakat umum untuk katarsis atau memulihkan diri dari ketegangan. Namun, efektivitas seni atau karya dalam mengurangi tekanan mental bergantung pada individu masing-masing.

”Pada saat pandemi Covid-19, permasalahan kesehatan mental semakin meningkat. Sarana pelepasan stres dan jenuh semakin dibutuhkan,” ujarnya.

Selain itu, kondisi mental seseorang juga dapat berpengaruh pada orang lain. Ketika kesehatan mental seseorang sedang baik, maka akan positif pula suasananya. Hal ini juga berlaku untuk kondisi sebaliknya.

Menurut Yanuar, pemerintah berperan besar dalam pemulihan kesehatan mental masyarakat. Ada beberapa kebijakan yang dapat diubah dan berpengaruh signifikan pada kesehatan mental. Hal ini di antaranya dengan membuat masyarakat lebih sehat atau mengubah mekanisme bekerja.

”Perubahan ini mencakup aturan cuti, jenjang karier, waktu kerja fleksibel, dan lainnya. Kaum muda saat ini senang dengan jam kerja fleksibel yang dapat dilakukan di mana pun,” tambah Yanuar.

Oleh karena itu, baik pemerintah maupun swasta harus adaptif menanggapi fenomena tersebut. Kesehatan mental, perbaikan tata kelola jam kerja, sektor pendidikan, serta pendampingan harus menjadi prioritas dan dibenahi kembali.(di/smk)

INI 8 FAKTA, Wanita di Mojokerto Nekat Buang Bayinya Hingga Ditangkap Polisi

Baca juga :