Lima warga Desa Kembangringgit, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto merasa tanahnya diserobot perusahaan pembangkit tenaga listrik swasta, PT Sinergy Power Source (SPS). Kasus ini sudah dilaporkan dua kali ke Polres Mojokerto sejak tahun 2015 lalu, namun belum ada titik temu. Kini warga resah karena khawatir tanahnya hilang.
Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, lima warga tersebut adalah Ponali (mistri), Sukadi wandoyo (kastin dan kasari), Bagiyo (toyib), Sumari (tunar), Mistono (poniti) mereka warga dusun Bajangan dan dusun Kembangringgit yang mengklaim sebagai pemilik sembilan bidang tanah di dua blok lahan yang kini dikuasai PT SPS.
Edy Yosef, kuasa hukum warga mengatakan, konflik ini berawal ketika muncul sengketa saat pelepasan hak beberapa bidang tanah di dua peta blok lahan petani desa Kembangringgit tahun 2014. “Sebagian lahan yang ditempati PT SPS saat ini masih berstatus milik klien kami dengan bukti kepemilikan berupa Letter C dan SPPT PBB. Masing-masing bidang sekitar seluas 1.500 meterpersegi” ungkapnya.
Kata Edy, kliennya menuntut PT SPS membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar per bidang tanah sesuai dengan harga pasar tanah saat ini. “Selain mengacu harga pasar, juga adanya kerugian materi selama empat tahun tidak bisa menggarap lahan yang biasanya ditanami tebu itu,” katanya.
Menurutnya, PT SPS pemegang hak guna usaha (HGU) No. 23 yang diterbitkan oleh kantor BPN Kabupaten Mojokerto pada tahun 2016 tersebut diduga kuat telah menyerobot lahan kliennya dengan merekayasa luasan lahan dalam dokumen HGU yang dijadikan lokasi pembangunan pabrik.
“Surat HGU Nomer 23 terbit tahun 2016, padahal dugaan penyerobotan lahan pernah diadukan klien kami ke Polres Mojokerto awal tahun 2015. Artinya, sertifikat hak guna tersebut terbit saat tanah dalam sengketa,” tegasnya.
Edy juga mengatakan, pihaknya terpaksa melaporkan PT SPS secara pidana karena penyerobotan tanah dan pemalsuan data otentik. “Kita melaporkan secara pidana, karena masalah ini sudah berpekara sejak tahun 2015, dan laporan ke kepolisian sudah sejak tahun 2017 tapi HGB terbit tahun 2016. Kecuali jika HGB terbit tahun 2014, maka urusannya mungkin akan kami laporkan secara perdata,” ujarnya.
Dalam laporan tersebut, PT SPS diduga telah menguasai lahan masyarakat tanpa persetujuan resmi. “Pihak perusahaan memanfaatkan jalur panitia pembebasan yang diketuai Kades Kembangringgit dalam pembayaran ganti rugi lahan sehingga mengklaim telah mengganti rugi tanah warga,” katanya.
Menurut Edy Yosef, warga juga menyayangkan sikap penyidik Polres Mojokerto yang enggan meningkatkan kasus. Juga menyayangkan sikap BPN Kabupaten Mojokerto yang enggan membuka warkah tanah, kendati ijin dari BPN Propinsi Jawa Timur sudah turun. “Karena belum dibebernya warkah tanah, penyidik terhambat taktala harus meruntut riwayat tanah di dua blok yang kini dikuasai PT SPS tersebut,” ungkapnya.
Disisi lain, lanjut Edy Yosef, telah terjadi penghapusan nomor obyek pajak (NOP) SPPT milik masing-masing kliennya. PBB tahun pajak 2017 masih bisa dibayar, tapi 2018 tertolak karena NOP sudah dihapus. “Penghapusan NOP ini semakin menjadi bukti, tanah lima warga telah pindah tangan, dan berada di komplek Pabrik PT.Sinergy Power Source,” tambahnya.
Beberapa NOP milik kliennya yang dihapus, yakni bidang tanah nomor 10,11,12,21, 32 dan 97 semuanya berada di dua peta blok yang kini terbit HGU Nomor 23 milik PT SPS dengan satu NOP akibat penggabungan.
Ia pun mendesak agar BPN Kabupaten Mojokerto segera menyerahkan warkah tanah HGB Nomor 23 ke penyidik Polres Mojokerto. Kata Edy Yosef, sedikitnya ada 11 bukti dan petunjuk yang ia kantongi akan menjadi dasar untuk memperkarakan pihak-pihak yang dinilainya menghalangi pelaporan kliennya tersebut. “Karena bukti kepemilikan sah dan pernah membayar pajak bumi dan bangunan. Jadi kami harap agar perusahaan segera membayar ganti rugi,” pungkasnya.(sma/udi)
Baca juga :