Keberadaan tempat pemilahan sampah daur ulang dari berbagai negara di Desa Bangun, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto ternyata menjadi berkah tersendiri bagi warga sekitar.
Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, sekitar dua per tiga masyarakat Desa Bangun mencari nafkah dengan menyortir dan menjual barang-barang bekas yang bisa didaur ulang. Seperti sampah botol, pembungkus, hingga gelas.
Salah satu pemilah sampah bernama Keman mengaku kalau banyak warga Desa Bangun yang merasakan langsung manfaat ekonomi dari pekerjaannya menyortir sampah. “Saya punya tiga anak, semuanya masuk universitas,” ujarnya.
Kata Keman, semua biaya pendidikan anak-anaknya itu hasil dari memilah sampah di desanya. “Smua itu berkat kerja keras saya memulung sampah,” jelasnya.
Di pemilahan sampah ini, setiap hari sekitar 40 truk pengangkut sampah menyuplai sampah dari berbagai pabrik. Termasuk sampah dari beberapa pabrik kertas lokal dan tak jarang bercampur dengan sisa kertas yang memang diimpor secara legal.
Warga memilah sampah-sampah itu dengan tangan kosong, hanya bermodal garpu dan sekop. Lalu dikumpulkan dan dijual.
“Sampah seperti harta di sini, Kenapa? Karena setelah kita mengeringkannya di pagi hari dan mengurutkannya, itu akan dikonversi menjadi uang pada malam hari,” ujarnya.
Sementara sejak China menutup keran impor sampah dari berbagai negara, Indonesia dan sejumlah negara lain di Asia kian banyak menerima imbas kiriman sampah-sampah asing dari negara Barat.
Sementara para aktivis lingkungan dan negara-negara yang menjadi korban sampah impor terus melakukan pertentangan. Hal ini jelas berbanding terbalik dengan yang dirasakan para pemilah sampah di Desa Bangun Pungging Mojokerto.(sma/udi)
Baca juga :