Terdampak dan Sepi, Tukang Pijat Tuna Netra di Mojokerto Tak Dapat Bantuan Dana Covid-19

Sepi, itulah yang dirasakan oleh seorang tukang pijat tuna netra yang bernama Agus Zuliawan, seorang pemijat tuna netra di Desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Sudah lebih dari dua bulan, ia harus kehilangan pekerjaannya karena terimbas Pandemi COVID-19. Mirisnya lagi, dia tak dapat bantuan apa pun dari pemerintah.

Padahal, dia sangat terdampak, bahkan saat ini dirinya harus menutup lokasi panti pijatnya dan berpindah ke rumah orang tuanya.

Agus menceritakan, sejak pandemi corona bulan Maret lalu, usaha panti pijat yang digelutinya sepi pelanggan. Kalau biasanya bisa melayani 4-5 pelanggan per hari, namun kini satu saja susah. ”Tapi sekarang satu saja susah. Kalaupun ada, nanti selang beberapa hari baru ada lagi,” ungkapnya, Minggu (31/05/2020).

Agus juga mengayakan, sebelum adanya pandemi ini, biasanya banyak pelanggannya yang datang dari luar kota. Namun, sekarang hanya mengandalkan pelanggan dari warga lokal saja.

Kondisi ini, praktis membuat ekonomi rumah tangganya merosot cukup drastis. Kalau biasanya, dalam sehari bisa mendapat penghasilan Rp 150-175 ribu per hari. Kini, untuk mendapat 50 ribu saja sudah susah.

”Istilahnya sekarang itu harus nedo nerimo. Kalau ada satu pelanggan ya bisa buat makan, tapi itu pun hanya cukup untuk 1-2 hari,” tandas pria kelahiran 9 Juli 1983 ini.

Sejak merintis sebagai tukang pijat sejak tahun 2000 lalu, Agus tidak memasang tarif kepada para pelanggannya. Saat ini, dia membuka jasa di rumah orang tuanya di Jalan Raya Trowulan, Dusun/Desa Jatipasar RT 02/RW 02, Kecamatan Trowulan ini.

Selain sepi pelanggan, Agus juga mengaku tidak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. Sebab, Agus mengaku jika namanya belum terdaftar dalam penerima bantuan sosial (bansos) jenis apapun terkait penanganan Covid-19.

Baik berupa bantuan langsung tunai (BLT) maupun sembako. ”Tidak tahu kenapa kok tidak terdata,” papar ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kabupaten Mojokerto ini.

Seharunya, sebut Agus, penyandang disabilitas menjadi prioritas sebagai penerima bantuan. Sebab, sejak adanya Covid-19 ini, pekerjaan maupun profesi yang dijalani oleh para difabel juga turut terdampak.

Dari 56 anggota Pertuni Kabupaten Mojokerto misalnya. Selain menjadi pemijat, beberapa di antaranya juga mengais rejeki sebagai pemain musik. Namun, akibat wabah virus korona, seluruh acara pangung menjadi ditiadakan.

”Jadi penyandang difabel seharusnya mendapat prioritas menerima bantuan. Bukannya kami mengemis, tapi ini karena kami kehilangan pekerjaan,” tandasnya.(sma/udi)

Baca juga :