Stupa Batu Diperkirakan Era Majapahit Ditemukan di Mojokerto

Penemuan Stupa Majapahit di Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto/detikcom)

Sebuah stupa dari batu yang diprediksi peninggalan dari zaman kerajaan Majapahit akhir, telah ditemukan oleh seorang petani di Desa Jiyu, Kecamatan Kutorejo, Kabupaten Mojokerto.

Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, benda cagar budaya itu ditemukan di area persawahan milik Rukmani Dusun Tumpangsari, Desa Jiyu. Batu Stupa itu mempunyai dimensi tinggi 42 cm, diameter 42 cm dan diameter bagian ujungnya 22 cm.

Bagian dasarnya berbentuk persegi sebagai dudukan stupa. Bagian tengahnya berbentuk setengah bulat. Sedangkan ujung stupa nampak terputus.

Khoirul Anwar (37), seorang warga Dusun Tumpangsari mengatakan, stupa itu masih tergeletak di sawah Rukmani. “Stupa ini ditemukan Pak Rukmani saat melebarkan sawahnya. Terpendam sekitar 20 cm di dalam tanah,” katanya.

Sementara itu, Wicaksono Dwi Nugroho, Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim mengatakan, batu andesit berbentuk seperti genta itu merupakan stupa, yakni simbol ajaran Agama Budha.

“Batu ini kami identifikasi sebagai stupa. Karena bentuk persegi di bagian bawahnya, tengahnya berbentuk genta atau setengah bulat, atasnya yang patah bagian puncak stupa,” jelasnya.

Menurutnya, stupa ini bagian dari candi Budha yang diperkirakan pernah berdiri di Desa Jiyu. Dasar stupa berbentuk persegi yang rata diperkirakan sebagai dudukan pada bangunan candi.

“Tidak jauh dari stupa ada lahan yang disebut warga Sawah Bata karena banyak ditemukan bata-bata dan batu andesit. Selama ini kita menduga ada bangunan candi. Dengan temuan stupa, kuat dugaan di Sawah Bata itu ada candi yang beraliran Agama Budha,” terangnya.

Stupa itu diperkirakan saling terkait dengan temuan bersejarah lainnya di Desa Jiyu. Mulai dari batu patok berukir simbol-simbol, 4 Prasasti Jiyu, uang logam kuno, fragmen tembikar dan keramik, serta struktur lantai dari susunan bata merah.

Kata Wicaksono, seluruh benda cagar budaya itu warisan Raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya. Yakni penguasa zaman Majapahit akhir yang berkuasa pada abad 15 masehi.

“Di Jiyu ini lokasi peninggalan Raja Majapahit akhir yairu Girindrawardhana Dyah Ranawijaya yang berlangsung abad 15 akhir,” terangnya.

Teori yang dicetuskan Wicaksono didukung Prasasti Jiyu. Prasasti berangka tahun 1486 masehi ini menyebutkan, Raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya menetapkan Desa Jiyu menjadi tanah perdikan atau tanah bebas pajak di bawah kekuasaan Majapahit.

“Di Prasasti Jiyu juga disebutkan adanya pembangunan asrama untuk memperingati ibu dari Girindrawardhana. Apakah itu asrama Budha seperti vihara? Ini menarik untuk dikaji lebih mendalam,” tandasnya.

Wicaksono juga mengatakan, temuan stupa itu memunculkan spekulasi Raja Girindrawardhana memeluk ajaran Budha. Lain halnya dengan raja-raja Majapahit terdahulu yang mayoritas memeluk Hindu.

Tidak hanya di Desa Jiyu, peninggalan Raja Girindrawardhana juga tersebar di Kecamatan Mojosari, Pacet dan Jatirejo.

Salah satu yang terkenal yaitu Prasasti Kembangsore di Desa Petak, Kecamatan Pacet. Prasasti ini juga berangka tahun 1486 masehi.

Bukti-bukti arkeologis itu membuat BPCB Jatim mencetuskan hipotesis ibu kota Majapahit yang pada masa pemerintahan Girindrawardhana disebut Dahanapura, berada di Desa Jiyu dan sekitarnya. Kota raja itu dipindahkan dari Trowulan, Kabupaten Mojokerto akibat perang Paregrek.

Hipotesis ini berbeda dengan pandangan kebanyakan ahli yang meyakini Dahanapura berada di Kediri. Karena merujuk pada kata Daha yang dulunya sebuah kota di Kediri. (sma/udi)

Sumber : Detik.com (Naskah Berita Asli)

Baca juga :