Selama Maret Hingga Juli 2020, Ada 1.167 Perkara Perceraian di Mojokerto

Selama pandemi Covid-19, kasus perceraian di Mojokerto ternyata cukup tinggi.

Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, tercatat ada 1.167 perempuan menyandang status janda baru.

Berdasarkan data Pengadilan Agama Mojokerto, terdapat 1.167 perkara perceraian selama wabah virus Corona. Yakni sejak Maret sampai Juli 2020.

Mayoritas perceraian diajukan oleh pihak perempuan. Terdiri dari 856 cerai gugat atau cerai yang diajukan pihak wanita. Sedangkan sebanyak 311 talak atau cerai yang diajukan pihak pria.

Achmad Romli, Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama (PA) Mojokerto mengatakan, sejak lima bulan virus Covid-19 mewabah, ada 1.167 perempuan bersetatus janda baru di Mojokerto. Rata rata kasus perceraian selama pandemi di Mojokerto disebabkan karena masalah ekonomi yang mencapai sekitar 60 persen.

“Dampak ekonomi pandemi Covid-19 menjadi sebagian dari masalah ekonomi tersebut. Namun, lebih banyak karena gaya hidup. Sehingga kebutuhan hidup para perempuan yang mengajukan cerai semakin bertambah, mereka merasa kekurangan,” ungkapnya, Kamis (20/8/2020).

Jika dibandingkan tahun lalu, jumlah kasus perceraian di Mojokerto tergolong masih tinggi. Wabah virus Corona rupanya tidak menjadi halangan bagi pasangan suami istri yang merasa rumah tangganya tidak lagi harmonis untuk berpisah.

Pada periode yang sama pada Maret – Juli tahun 2019, terjadi 1.180 perceraian. Mayoritas perceraian diajukan pihak perempuan mencapai 879 perkara. Sedangkan cerai talak tahun lalu hanya 301 perkara. “Pasangan yang bercerai didominasi usia produktif, sekitar 50 persen usia mereka masih di bawah 40 tahun,” terangnya.

Pernikahan dini atau menikah pada usia yang belum matang, menjadi pemicu perceraian di Mojokerto. Jumlahnya mencapai sekitar 117 perkara. Berdasarkan UU RI nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan, usia matang bagi laki-laki dan perempuan agar diizinkan menikah minimal 19 tahun.

“Sepanjang 2020, ada sekitar 10 persen perkara perceraian yang disebabkan usianya yang belum matang. Usai pernikahan, beberapa bulan kemudian sudah mengajukan perceraian,” ungkapnya.

Romli juga mengatakan, PA Mojokerto sudah berupaya mencegah bertambahnya jumlah perceraian. Salah satunya selalu melakukan mediasi dalam setiap sidang perceraian.

“Upaya mediasi sudah kami lakukan secara maksimal pada awal persidangan. Namun lebih banyak pihak-pihak yang bercerai, kukuh pada pendiriannya ingin berpisah,” jelasnya.

Selain menghindari pernikahan dini, Romli meminta semua pasangan suami istri di Mojokerto bisa membangun keterbukaan komunikasi.

“Juga perlu melakukan musyawarah, tidak serta merta setiap terjadi masalah dalam rumah tangga harus diselesaikan di pengadilan agar pernikahan langgeng,” tegasnya. (sma/udi)

Baca juga :