Ini Upaya Disperta Mojokerto, Soal Pupuk Bersubdi Yang Dinilai Langka

Kelangkaan pupuk bersubsidi masih menjadi permasalahan di kalangan petani di Kabupaten Mojokerto hingga saat ini. Terlebih, para petani diarahkan menggunakan pupuk non bersubsidi yang harganya hampir 60 persen lebih malah daripada pupuk bersubsidi.

Menanggapi hal ini, Teguh Gunarko, Kepala Dinas Pertanian (Disperta) Kabupaten Mojokerto mengatakan, kelangkaan pupuk bersubsidi yang terjadi tengah diupaya untuk bisa teratasi.

Selain berkordinasi dengan pemerintah pusat, Dinas Pertanian juga berupaya agar awal tanam yang diperkirakan jatuh pada bulan Oktober mendatang, agar kelangkaan pupuk segera bisa teratasi.

“Kita dijanjikan oleh Pemerintah Provinsi mendapatkan alokasi khusus. Bahwa, pada musim tanam yang akan datang Oktober, akan ada alokasi tambahan di Kabupaten Mojokerto,” terangnya.

Sesuai dengan Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (E-RDKK), pemerintah telah mengajukan sebanyak 28 ton pupuk bersubsidi. Namun, sesuai dengan SK Dinas Pertanian Provinsi, Kabupaten Mojokerto dialokasikan 19.503 ton pertahun.

“Kita upayakan 90 persen. Nanti pada Oktober pada musim tanam yang datang, sebab kita dijanjikan oleh Provinsi akan mendapatkan realokasi. Yang itu akan diambilkan dari beberapa daerah yang kelebihan untuk di masukkan ke Mojokerto,” tambahnya.

Sementara itu, Edy Susanto, Staf perwakilan daerah Penjualan PT Petrokimia wilayah Mojokerto, Jombang, Nganjuk menegaskan, sebenarnya sejauh ini tidak ada kelangkaan pupuk bersubsidi. Hanya, polemik yang ada di tengah para petani, karena rendahnya alokasi pupuk subsidi yang dilakukan oleh pemerintah.

’’Kalau memang alokasi masih ada, barang dari produsen tidak ada, itu namanya kelangkaan,’’ tuturnya.

Menurut Edy, saat ini justru barang masih tersedia. Buktinya, ribuan pupuk masih tersimpan di gudang milik PT Petrokimia selaku produsen. ’’Jadi memang alokasi kita yang rendah dibanding tahun sebelumnya,’’ tambahnya.
[sc name=”iklan-sisipan”]
Disinggung soal jika ada permainan harga di tingkat kios, Edy menegaskan, sampai sekarang belum ada laporan masuk terkait penjualan di atas HET (Harga Eceran Tertinggi).

Dalam aturan yang ada, kata Edy, setiap kios wajib menjual sesuai HET. Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2018 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.

Antara lain, Rp 90 ribu per sak atau 50 kilogram (kg) untuk jenis urea, Rp 100 ribu untuk SP-36, Rp 70 ribu ZA, Rp 115 ribu untuk NPK, serta Rp 20 ribu per sak untuk organik.

Sehingga tidak menutup kemungkinan, kata Edy, jika di lapangan ditemukan ada kios nakal dengan menjual di atas HET, pihaknya akan memberikan sanksi tegas. Sesuai aturan dalam kesepakatan antara distributor dan kios dalam proses jual beli.

’’Sanksinya, peringatan tertulis sampai dengan pemutusan hubungan kerja atau tidak lagi menjadi kios,’’ tandasnya. (fad/mjf)

Baca juga :