Musim Kemarau, Sejumlah Wilayah di Mojokerto Kesulitan Air Bersih

Pada musim kemarau ini, setidaknya ada sejumlah wilayah di Kabupaten Mojokerto kekurangan air bersih. Hal itu karena sumber air bersih yang mulai mengering.

Dari data yang diterima dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mojokerto, ada 30 Dusun di 18 Desa terdampak kekeringan.

Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, 30 Dusun itu tersebar di 8 kecamatan. Diantaranya, dua Dusun di satu Desa di Kecamatan Dawarblandong, dan tiga Dusun di dua Desa di Kecamatan Sooko.

M. Zaini, Kepala BPBD Kabupaten Mojokerto mengatakan, puncak musim kemarau yang terjadi saat ini sangat berdampak terhadap ketersediaan air di sejumlah wilayah, terutama di Kecamatan Ngoro yang hampir tiap tahun selalu terjadi kekeringan.

’’Faktornya macam-macam. Sebagian besar karena ada penyusutan air sumur warga di tengah puncak kemarau panjang. Tapi ada juga yang memang di desa itu tidak ada sumber air, seperti di beberapa dusun di Desa Kunjorowesi, Kecamatan Ngoro,’’ ungkapnya Sabtu (26/09/2020).

Bahkan kekeringan di Kunjorowesi itu merupakan bencana musiman yang selalu terjadi di kala musim kemarau tiba.

Kata Zaini, meluasnya kekeringan tahun ini membuat Pemkab Mojokerto menaikkan statusnya menjadi tanggap darurat bencana kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan. Hal itu sesuai keputusan Bupati Mojokerto nomor 188.45/342/HK/416-012/2020.

“Status tanggap darurat ini berlangsung hingga dua bulan ke depan atau sampai dengan 30 November 2020,’’ tuturnya.

Penanganan secara cepat pun harus dilakukan. Salah satunya dengan melakukan penyaluran air bersih ke desa yang terdampak. Dari inventarisir di lapangan, dari 30 Dusun di 18 desa yang tersebar di 8 Kecamatan, setidaknya ada 26.725 jiwa dengan jumlah 9.081 KK.

Terbanyak di Kecamatan Ngoro dengan total ada 11 ribuan jiwa dengan 3.451 KK. Selain memang di desa itu tidak ada sumber air, selama ini hanya memanfaatkan tadah hujan.

Khususnya Dusun Telogo dan Sumber. Tiap tahun dusun yang berada di ketinggian lebih dari 1.000 Meter Diatas Permukaan Laut (MDPL) itu selalu menjadi permukiman yang paling terdampak jika musim kemarau tiba. Selama ini warga mengandalkan droping air bersih dari pemerintah maupun donatur.

’’Jadi, sampai tahun ini, Dusun Telogo sama Sumber memang yang belum kejangkau air,’’ tegasnya.

Namun, dengan ditetapkannya siaga darurat, segala biaya sebagai akibat ditetapkannya keputusan Bupati dibebankan pada APBD. ’’Setidaknya, butuh 4-5 tangki sehari. Saya kira bisa maksimal. Karena di Telogo ada dua titik penampungan air dan empat titik di Dusun Sumber,’’ tandasnya. (sma/udi)

Baca juga :