Gas bumi di Kota Mojokerto disalurkan ke 9 ribu rumah tangga, diantaranya di Kelurahan Magersari, Gedongan, Balongsari, Kedundung, Purwotengah, Jagalan, Sentanan, Mentikan, Kauman, Prajurit Kulon, Surodinawan, dan Miji.
Informasi yang dihimpun suaramojokerto.com, dengan adanya gas bumi dari Perusahaan Gas Negara (PGN) ini bertujuan agar lebih murah dari gas elpiji. Namun ternyata ada sejumlah warga atau penerima Jaringan Gas (Jargas), justru mengeluhkan adanya tarif yang dinilai mahal.
Salah satunya dirasakan oleh seorang warga berinisial Z (39), asal RT 3, RW 1, Kelurahan Surodinawan, Kecamatan Prajurit Kulon. Dia mengaku sempat menikmati gas gratis selama 6 bulan pertama.
Dia baru menerima tagihan pertama pada Januari 2019 sebesar Rp 55 ribu. Tagihan 4 bulan berikutnya secara berturut-turut naik dua kali lipat. Yaitu Februari Rp 119.850, Maret Rp 107.100, April Rp 107.100 dan Mei Rp 94.350. Baru 3 bulan terakhir, tagihan gas bumi yang dia pakai turun. Yaitu Juni Rp 46.750, Juli Rp 51.000, serta Agustus Rp 55.250.
“Katanya dulu gas bumi ini lebih murah daripada elpiji, ternyata lebih mahal. Kalau pakai elpiji, sebulan saya habis 2 tabung melon atau Rp 38 ribu,” terangnya, Rabu (04/09/2019).
Tarif berlangganan Gas Bumi PGN membuatnya keberatan. Apalagi tagihan bulanan yang harus dia bayar pernah mencapai di atas Rp 100 ribu. Dia mengaku tak mengerti penyebab sempat melambungnya tagihan gas di rumahnya.
“Saya keberatan di tarifnya, juga tidak pernah diberi tahu berapa tarif per meter kubik. Kalau suplai selama ini pernah dua kali ngedrop pada pagi sekitar jam 6. Saat itu di rumah saya nyala apinya mengecil, lama kelamaan habis, siangnya baru bisa normal,” ungkapnya.
Sementara itu, Katini (46) warga RT 7 RW 2, Kelurahan Surodinawan mengatakan, pihaknya tertarik menggunakan gas bumi karena diming-imingi tarif lebih murah dibandingkan elpiji. Namun setelah mendapatkan suplai gas gratis selama 6 bulan, dia mendapatkan tagihan pertama Rp 196 ribu pada Desember 2018.
Karena tak sesuai harapan, dia nekat tak membayar tagihan 5 bulan berikutnya. Yaitu Januari-Mei 2019. Sehingga meter pelanggan gas di rumahnya dicopot paksa oleh petugas.
“Tagihan pertama kok banyak, saya tanya ke petugas kontrol meter pelanggan. Katanya setelah 6 bulan lagi kembali normal. Saya tak mampu kalau bayar Rp 200 ribu sebulan. Sehingga selama 5 bulan tidak saya bayar karena tagihannya total Rp 700 ribu lebih. Saya tidak punya uang untuk membayar,” terangnya.
Untuk itu, Katini kembali menggunakan elpiji bersubsidi sejak Mei 2019. Rata-rata setiap bulan, dia hanya menghabiskan 2 tabung elpiji melon senilai Rp 38 ribu. Penghasilannya sebagai buruh sepatu membantu sang suami tak cukup, jika harus membayar tagihan gas yang mahal. “Lebih baik pakai elpiji, lebih hemat,” tegasnya.
Eris (33) warga RT 01 RW 4, Kelurahan/Kecamatan Prajurit Kulon mengaku kecewa, karena tagihan pertama pemakaian gas bumi dari PGN mencapai Rp 270 ribu. Sehingga dia sempat tidak membayar tagihan 3 bulan berikutnya dengan total hampir Rp 400 ribu.
“Karena banyak yang bilang tarif berikutnya akan murah, saya lunasi tunggakan tagihannya. Sehingga tidak jadi diputus. Kalau ternyata masih mahal, saya kembali pakai elpiji saja. Rata-rata sebulan saya habis 4 tabung melon seharga Rp 72 ribu,” jelasnya.
menanggapi hal ini, Hatta Amrulloh, Kabag Humas dan Protokol Setda Kota Mojokerto mengatakan, pihaknya berjanji akan menyampaikan keluhan para pengguna gas bumi ke PGN. Termasuk akan memperjelas tarif yang diterapkan terhadap pelanggan rumah tangga. “Akan kami jajaki dulu tarifnya berapa, apakah ada komponen lain dalam tarif tersebut,” katanya. (sma/adm)
Baca juga :