Terpaksa, Dua Keluarga di Mojokerto Ini Tinggal di Kandang Kambing

Dua keluarga di Dusun Seketi, Desa Jatidukuh, Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto terpaksa hidup bersama kambing, mereka tinggal di gubug reyot yang jadi satu dengan kandang.

Informasi yang dihimpun oleh suarajawatimur.com, dua Keluarga itu adalah Sukarti (40) bersama anaknya dan satu keluarga lagi adalah kedua orang tua Sukarti yakni Karmin (70) dan Kasimah (70).

Dua keluarga yang masih satu darah itu terpaksa tinggal di gubug yang jadi satu dengan kandang kambing lantaran keterbatasan ekonomi. Gubuk yang terbuat dari papan kayu seadanya itu pun berisiko bocor dan ambruk. Pasalnya, mayoritas kayu yang digunakan sudah lapuk termakan usia.

Akses menuju kedua gubug sederhana itu pun terkesan sempit. Mereka harus melewati gang sempit diantara dua rumah milik Kasih dan Jamdi. Gang dengan lebar 0,5 meter itu menjadi satu-satunya akses menuju rumah mereka.

Sukarti bersama satu anaknya, Yoga, tinggal di gubug dengan ukuran kurang lebih 5×6 persegi yang didalamnya juga terdapat kandang kambing.

Rumah yang dihuninya hampir lebih dari lima tahun itu terbagi terbagi menjadi tiga sekat bambu. Ruang tamu yang sekaligus menjadi kamar tidur, dapur dan juga kamar anaknya.

Sedangkan satu gubug lagi dihuni oleh kedua orang tuanya Karmin (70) dan Kasimah (70). Gubug itu berukuran kurang lebih 3×4 persegi. Gubug selebar 1,9 itu menjadi dapur sekaligus kamar tidur dua pasutri lansia tersebut. Kedua bangunan tersebut hanya beralaskan tanah merah.

“Sudah lima tahun lebih Bapak, ibu dan Kakak saya yang nomor 1 tinggal di gubug itu, ” ungkap Jamdi (30) anak ke tiga dari pasangan Karmin (70) dan Kasimah (70) saat ditemui di kediamannya.

Kondisi gubuk yang ditempati keluarganya sangatlah jauh kata dari layak. Selain sempit gubug itu juga minim pencahayaan dan saat hujan turun rumah tersebut kebocoran lantaran kondisi atap yang rapuh dan genting rusak.

Bahkan untuk mengantisipasi kebocoran rumah kakaknya Sukarti harus diberi pelapis plastik pada bagian atapnya. Di samping itu, tempat dalam rumah yang dihuni keduanya juga berada jadi satu dengan kandang kambing.

Menurut Jamdi, bapak ibu dan kakaknya yang berstatus sebagai seorang janda anak tiga bukan tidak ingin hidup sehat dan layak. Namun kondisi ekonomi keluarga yang serba sulit, membuat keluarganya terpaksa tinggal di gubuk itu.

Di samping itu, Sukarti kakanya yang nomor satu hanya bekerja sebagai buruh tani yang biasnya mencari sisa padi milik para petani yang sedang panen (ngasak) sedangkan bapak dan ibu sudah tak bekerja karena usia dan sering sakit-sakitan. Sehingga kondisi itu kian memperburuk keadaan.

“Dulu bapak ya tani, sekarang cuma ibu saja. Jadi buruh tani, itu pun kalau dibutuhkan saja. Sekarang yang ngarit dan ngerawat ternak ya ibu, bapak sudah ndak sanggup,” bebernya.

Hal itu diperparah dengan penyakit yang dia derita bapaknya yang kini sudah menginjak usia 70 “Bapak sakit ginjal, ya kencing berdarah gitu,” imbuh Jamdi.

Dia menjelaskan, bapak ibunya yang tinggal di gubug bersama kandang kambing merupakan pilihannya sendiri.

“Bapak dan ibu sudah kita tawari tinggal di rumah saya maupun kakak saya yang nomor dua namun tidak mau, bapak dan ibu memilih tinggal di gubug itu sambil memelihara kambing dan sapi milik anaknya, ” tuturnya.

Meski Rumah Jamdi dan Kasih (40) anak kedua, berada tepat di depan gubug yang dihuni oleh kedua orang tua dan kakaknya itu, bapak dan ibunya memilih tinggal di gubug.

Lebih lagi, kondisi perekonomian Sukarti yang kurang beruntung membuat anak terakhirnya, Yoga, putus sekolah dasar. Sementara anak pertama dan keduanya menimba ilmu di salah satu pondok pesantren di Desa Lengkong Kecamatan Trowulan secara gratis.

“Kalau Yoga itu kelas empat, dia putus sekolah sudah sekitar setahun lalu,” tuturnya.

Untuk makan sehari-hari, Kasmin dan Kasimah terkadang dibantu oleh Jamdi dan Kasih (anak ke dua). Lantaran penghasilan yang tidak menentu ”Makannya ya seadanya mas. Kadang saya sama mbak saya yang ke dua (Kasih) ngasih, gitu,” ungkapnya.

Kamar mandi gubuk milik Sukarti dan orang tuanya itu menjadi satu. Mereka hanya mengandalkan sumber air dari aliran sungai yang ada. Kondisi air sungai saat ini yang tengah keruh pun terpaksa mereka gunakan untuk mandi, cuci, kakus (MCK). ”Di sini pakai air sungai, kalau mau bikin sumur habis Rp15 juta lebih. Itu buat mereka yang punya uang saja,” tuturnya.

Sejauh ini, keluarga tak mampu itu hanya mendapat bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) dari pemerintah. Tak ada bantuan lain dari pemerintah. ”Cuma PKH itu aja, BLT dan BST enggak. PKH itu kan setiap bulan, tapi ya ndak cukup buat mereka sehari-hari,” tandasnya.(Mya/tim)

 

 

 

 

 

 

Baca juga :